Selasa, 29 September 2015

Moms to be

Tugas Ibu :

Oleh: Ustz. Aan Rohana, M. Ag

1. Tanggung jawab terhadap anaknya
2. Mendirikan shalat malam
3. Mengkhatamkan quran setiap bulan 
4. Pandai menjaga keikhlasan dan sabar
5. Qudwah Hasanah (menjadi contoh) dan doa
6. Memperluas wawasan
‎‎
Anak akan melihat pengorbanan seorang ibu, jd tanpa disuruh si anak akan mendahulukan ibunya.

Allah akan murka kpd ibu yg tdk mendidik anaknya utk dekat dg Qur'an, dan Allah.

Al A"raf  172.‎
Tanggung jawab ibu sangat besar utk mengembalikan anaknya dlm keadaan suci.

Ibu berfungsi menyiapkan jalan anak menuji surga.

Landasan mendidik anak adalah harus berasal dr Allah. Oleh krn itu jangan jauhkan anak dr qur'an.

Terlambat mengajari anak membaca qur'an sejak SD atau mengajarkan anak menghafal qur'an sejak SD. Krn seharusnya kita mengisi miliyaran sel otak anak dg qur'an sejak dalam kandungan.

Usia anak TK sdh seharusnya sdh sholat di masjid. 

Hidup adalah ujian utk menjadi yg terbaik. Al Mulk....

Ibu tdk pantas tidur 8 jam sehari. Sepertiga malam terakhir bangun utk mohon ampun pd Allah dan menyiapkan anak2nya. 

Al Muzammil ...
Ibu yg bangun sholat malam dan baca qur'an sebelum Shubuh. diberikan kemampuan rohani utk melaksanakan apa yg diperintahkam Allah.

Bila kita ingin menjd ibu dr anak2 yg besar maka usaha ibu jg harus lebih besar.

Kebaikan diberikan : kata2, langkah,nasehat yg berbobot.

Kita hrs menjd ibu yg berbobot memberikan daya tarik dihadapan Allah agar Allah memberikan kemampuan pd kita tanpa banyak bicara ini itu kpd anak. Bicara sedikit tp sampai ke hati anak.

Anak usia 4 th harus bisa baca Qur'an. Setahun selesai bila tiap hari diajarkan.

Ketika ibu telah berkeinginan dg kuat maka Allah akan berikan jalan.

Imam Syafii dr Mesir diletakkan ibunya di Mekkah pd usia 4 th. Anak hrs dimotivasi utk ibu mustajab. Berhati2 bila berkata2 apabila menghadapi anak yg tidak patuh. Krn kata2 buruk yg diucapkan pd anak berulang2 akan menjadi kepribadiannya.

Mendidik anak hrs dg cinta, tulus tdk berharap apa2 dr anak.
Marah membuat tubuh stress 6 jam.

1. Bertanggung jawab
2. Sholat malam
3. Khatam qur'an setiap bulan, satu hari 1 juz

Ibu adalah teladan selama 24 jam. Bgaimana membuat anak cinta qur'an kalau ibunya tdk membaca qur'an.
‎‎
Orang yg selalu memperdengarkan quran di rumahnya :
1. Orang Akan memberikan banyak kebaikan di dalam rumah (termasuk penghuni di dalamnya)
2. Dilapangkan jiwa keluarga Nya (dijauhkan dari emotional sehingga menjadi keluaga samara)‎
3. Dihadiri Oleh para malaikat 
4. Dihindari dari syaitan

Sebelum mendidik anak berdzikir dan beristighfar. Mendidik dg kacamata iman bukan nafsu.

Surat 8 : 2
Bila disebut nama Allah akan bergetar hatinya.

Ya Allah tampakkanlah kpd kami kebenaran dg benar, mampu mengikuti kebenaran itu, tampakkanlah yg batil itu batil dan berikan kemampuan utk menjauhinya.

Bangunkan anak utk sholat Shubuh. Basahi matanya, gendong bila perlu, siapkan sajadahnya.‎

Lakukan yg terdepan. Ketika anak lain baru bangun. Anak kita sdh sholat, baca qur'an.‎

Banyak beristighfar utk membersihkan diri agar cahaya Allah dpt masuk. Krn apabila kotor cahaya tdk dpt masuk.

Surat 32 ayat 24-
dan kami jadikan diantara mereka para pemimpin ,
Ibu yang akan mencetak anak2 'besar' adalah yg sbb :
1. Selalu mencari Hidayah dalam perintah Allah ( AL quran dan sunnah  sbg pedoman hidup)
2. Bersikap sabar terus menerus sampai menutup mata (3:146-148)‎
3. Yakin kepada ayat2 Allah
4, siap berkorban dan berjuang‎
Menjadi ibu yg sabar 32:24.
Sabar menjd syarat ortu mencetak generasi pemimpin. Ibu yg emosi cenderung anaknya sulit diatur.‎

Ciri sabar : 
-Tdk gampang menyerah lemah semangat.
-Tidak lemah fisik
Jgn mengucapkan kata2 yg menurunkan idola anak2 kita thd kita. Byk istighfar utk mendpt kekuatan   11:52. Baca lahawla wala quwwata illaa billah. agar lbh kuat. Jgn mengeluh krn dpt mengurangi atau dihapus pahala kita.

Baca subhanallah 33, hamdalah 33, takbir 34 sebelum tidur.

Bila minta tlg kpd anak katakan dg alasan yg baik. Bunda mau ngaji bisa bantu ... spy bunda dpt pahala baca qur'an. Janganlah mengungkit pekerjaan serta kelelahan kpd anak dan suami. Lakukan dg ikhlas agar bertambah pahala jihad sbg ibu.

Jgn katakan sesuatu yg tidak baik didepan anak2 kita yg akan menurunkan rasa idola anak kpd kita, 
Hendaknya Banyak beristighfar bila lelah, Allah akan menambah kekuatan kita
‎‎
Jangan buka kelemahan kita dlm keluarga kita. Misal kekurangan suami jgn dibuka ke mertua atau ipar2. membuka kelemahan tanda tidak sabar.

Tidak mudah putus asa. Bila berat menghadapi anak, minta kpd Allah. Minta kpd yg punya. ALLAH mampu mengembalikan apapun dg kun fayakun.
Jangan memvonis mengatai anak saat anak msh kecil.
Ibu yg terdzolimi mustajab.
Sholat hajat dg khusu', shaum senin kamis, shaum Nabi Daud.

Bila Allah sdh mengubahnya kita akan terkejut2.

Anak investasi akhirat.
Derajat yg paling tinggi akan dirasakan oleh orang tua bukan anak. Bila sdh meninggal maka mengharapkan doa dr anak yg sholeh. 

Jangan memvonis anak sebelum dewasa sebelum menutup mata. Terus berusaha.

Istighfar....
Jangan salahkan anak2... introspeksi diri. Anak dilahirkan fitrah.

Ibnu Hajar, anaknya pesantren 5th tdk menghasilkan apa2, ortu tdk mempersoalkan sekolahnya. Setelah 8th tdk bisa dikembangkan lagi. Si anak dipulangkan. Di jalan pulang melihat batu yg ditetesi air. Tergerak hatinya kembali ke pesantren dan belajar dg sungguh2... akhirnya berhasil menjadi ulama penulis besar.

Yakin kpd ayat2 Allah. Jangan ragu sedikitpun. 

2:124

Syarat ibu mencetak generasi qur'an
1. Berpedoman pd hukum Allah
2. Sabar
3. Yakin kpd ayat2 Allah
4. Banyak berkorban. 
Nabi Ibrahim melaksanakan semua perintah dg sempurna.
Ujian harus dilalui dg sempurna.
Utk menjadi ibu yg mampu mencetak generasi Qur'ani hrs lulus semua ujian.

Rasulullah memaafkan budaknya sampai 70 kali dalam sehari.

Taat kpd suami dan mengakui hak2nya adalah jihad.
Gagal tdk jadi mujahidah krn tdk sabar, tdk ikhlas.
Gampang dirusak keikhlasan oleh anak kecil. Ibunya tdk cerdas.

5. Pandai menjaga keikhlasan
Ikhlas adalah amal hati yg berat. 
Ikhlas ada 3 : sebelum beramal, ketika beramal, setelah beramal.
Ibu hrs meninggalkan hal2 yg tdk berguna. Tdk asal berbicara.
Qaf 50: 18. Setiap kata dicatat malaikat. 

Ciri Ikhlas :
1.Tdk bertambah amalnya ketika dipuji
2. Tdk berkurang amalnya ketika dicaci
3. Istiqomah diwaktu ramai dan sepi

Ikhlas dan sabar hrs disempurnakan dlm mendidik anak2.

Faktor sukses dr mendidik anak dan contoh yg baik dan doa yg tdk pernah putus.

Ibu hrs memiliki pengetahuan yg luas agar mampu mengimbangi tumbuh kembang anak mengikuti kemajuan yg ada..
-----------------------
Bgmn keluarga kita?

Kamis, 17 September 2015

Read ya?

Mana Pengorbananmu!?

[Kisah Motivatif, Ditulis dengan Tinta Air Mata]

Disebutkan dalam kisah yang shohih tentang bagaimana pengorbanan orang-orang sholih di dalam meraih keridhoan Allah سبحانه وتعالى

Diantaranya adalah Syaikh Utsman Dabu –semoga Allah merahmati beliau-

Beliau berasal dari Republik Gambia, ujung Barat Afrika. Beliau tinggal di rumah sederhana di suatu desa kecil dekat ibukota Banjul.

Syaikh Utsman menceritakan perjalanannya ke Baitullaah Mekkah Al-Mukarromah 50 th yang lalu. Beliau pergi bersama empat orang kawannya dengan berjalan kaki dari Banjul menuju Makkah. Mereka berlima meretas benua Afrika dari Barat hingga Timur tanpa berkendaraan, kecuali pada waktu-waktu singkat mereka mengendarai hewan tunggangan hingga mereka tiba di Laut Merah untuk menyeberang menuju Jeddah.

Suatu perjalanan penuh keajaiban yang berlangsung selama dua tahun. Kadang mereka singgah di sebagian kota untuk istirahat, bekerja, dan berbekal, kemudian melanjutkan perjalanan.

Beliau ditanya, “Bukankah haji ke Baitullah diwajibkan atas orang yang mampu, sedangkan Kalian dalam keadaan tidak memiliki kemampuan?”

Beliau menjawab, “Benar. Namun, pada suatu hari, Kami saling berbicara tentang kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm ketika beliau berangkat membawa keluarganya ke lembah yang tidak ada tanaman di sisi Baitullah sedikitpun. Kemudian salah seorang di antara Kami berkata, ‘Kita sekarang adalah para pemuda yang kuat lagi sehat. Oleh karena itu, apakah udzur Kami di sisi Allah jika Kami kurang dalam menempuh perjalanan ke Baitullah. Apalagi Kami merasa bahwa hari-hari yang bergulir hanya menambah kelemahan. Maka, untuk apa diakhirkan?’ Kawan itu pun memicu dan memotivasi Kami untuk menempuh perjalanan dengan mengharapkan pertolongan dari Allah subhaanahu wa Ta'ala.

Keluarlah mereka berlima meninggalkan rumah-rumah mereka dengan perbekalan yang tidak mencukupi lebih dari satu pekan. Di perjalanan mereka, ada berbagai kesulitan, kesempitan, dan kesesakan yang hanya diketahui oleh Allah.

Betapa banyak malam yang mereka lalui dengan lapar yang hampir membinasakan mereka. Tak terbilang malam yang mereka harus meninggalkan kenikmatan tidur lantaran kejaran binatang buas. Sering berulang malam yang diliputi ketakutan akan para penyamun yang menghadang di berbagai lembah.

رُبَّ لَيْلٍ بَكَيْتُ مِنْهُ فَمَا
صِرْتُ فِي غَيْرِهِ بَكَيْتُ عَلَيْهِ

Betapa banyak malam yang telah kutangisi
Tatkala Ku pindah ke malam (lain), kembali aku menangisinya

Syaikh Utsman berkata,
“Suatu malam, Saya tersengat oleh (binatang berbisa) di tengah perjalanan. Maka, Saya pun ditimpa oleh panas hebat dan rasa pedih dahsyat yang membuatku terduduk dan tidak bisa tidur. Saya telah mecium bau kematian berjalan di urat-uratku,

وَإِنِّي لَأَرْعَى النَّجْمَ حَتَّى كَأَنَّنِيْ
عَلَى كُلِّ نَجْمٍ فِي السَّمَاءِ رَقِيبُ

Sungguh Saya terus mencermati bintang-bintang itu, hingga seakan …
Saya adalah pengawas setiap bintang di langit

Kawan-kawanku pergi bekerja, sementara saya hanya berteduh di bawah pohon hingga mereka kembali di penghujung siang. Syaithan terus memberi was-was ke dalam hatiku, “Bukankah seharusnya Engkau tetap tinggal di negerimu? Mengapa Engkau membebani dirimu dengan hal yang Engkau tak mampu saja?”

Jiwaku menjadi berat dan hampir Saya melemah hingga kawan-kawanku datang. Salah seorang di antara mereka melihat ke wajahku dan bertanya akan keadaanku. Saya pun menoleh kepadanya dan mengusap setetes air mata yang telah mengalahkanku. Seakan, dia merasakan penderitaanku. Dia berkata, “Bangunlah. Berwudhulah, kemudian shalatlah. Engkau takkan mendapatkan, kecuali kebaikan –dengan izin Allah-.

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolong kalian. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” [Al-Baqarah: 45]

Dadaku pun menjadi lapang, dan Allah menghilangkan kesedihan dariku, Alhamdulillah.

Kerinduan mereka pada dua tanah Haram terus berdendang mengiringi mereka pada segala keadaan. Pedih perjalanan serta bahaya dan prahara laluan telah menjadi ringan.

Tiga orang di antara mereka telah meninggal. Yang terakhir wafat berada di hamparan lautan. Sungguh Hal yang menakjubkan dari orang ketiga yang wafat adalah, dia berpesan kepada kedua kawannya,

“Jika kalian berdua mencapai Masjidil Haram, sampaikanlah kepada Allah akan kerinduanku berjumpa dengan-Nya. Mintalah kalian berdua kepada-Nya agar mengumpulkan Saya dan Ibuku bersama Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam.”

Syaikh Utsman bertutur,
“Tatkala kawan Kami meninggal, Saya tertimpa gundah gulana hebat dan kesedihan dahsyat. Itulah hal terberat yang Saya jumpai pada perjalananku. (Kawanku) ini adalah orang yang paling sabar dan kuat di antara Kami. Saya telah khawatir meninggal sebelum mendapat nikmat mencapai Masjidil Haram. Saya telah menganggap hari-hari dan saat-saat itu lebih panas daripada bara api.

إِذَا بَرَقْتَ نَحْوَ الْحِجَازِ سِحَابَةٌ
دَعَا الشَّوْقُ مِنِّي بَرْقَهَا الْمُتَطَامِنُ

Jika awan bergelegar di arah Hijaz
Kerinduan yang damai memanggil petirnya

Begitu Kami tiba di Jeddah, Saya sakit luar biasa. Saya pun khawatir meninggal sebelum sempat mencapai Makkah. Saya berwasiat kepada kawanku, ‘Jika Saya meninggal, kafanilah Saya dalam ihramku dan dekatkanlah Saya sesuai kemampuan ke kota Makkah. Barangkali Allah melipatgandakan pahala untukku dan menerimaku sebagai orang-orang shalih.’

Kami pun tinggal di Jeddah beberapa hari, kemudian melanjutkan perjalanan kami ke Makkah. Nafasku berhembus cepat dan kegembiraan memenuhi wajah. Rasa rindu terus menggoyang dan mendorongku hingga kami tiba di Masjidil Haram.”

Syaikh Utsman terdiam sesaat. Beliau menyeka linangan-linangan air matanya yang berderai kemudian bersumpah dengan nama Allah bahwa dia belum pernah melihat kelezatan dalam hidupnya sebagaimana kelezatan yang memenuhi seluruh lapisan hatinya tatkala beliau melihat Ka’bah yang mulia.

Beliau berkisah,

“Tatkala melihat Ka’bah, Saya bersujud syukur kepada Allah. Saya terus menangis, seperti anak-anak kecil yang menangis, karena dahsyatnya keagungan dan kharisma (Ka’bah). Betapa mulianya Baitullah itu dan sungguh penuh keagungan.

Kemudian, Saya mengingat kawan-kawanku yang belum dimudahkan untuk sampai ke Masjidil Haram. Saya pun memuji Allah Ta’âlâ atas nikmat dan keutamaan-Nya kepadaku. Selanjutnya, Saya memohon kepada Allah Subhânahu untuk mencatat (kebaikan) langkah-langkah mereka dan tidak mengharamkan pahala untuk mereka serta mengumpulkan Kita semua pada kedudukan jujur di sisi Allah Yang Berkuasa Lagi Maha Mampu.”

[Disadur dengan sedikit meringkas dari Ar-Rafîq Fî Rihlatil Hajj hal. 107-109]

Senin, 07 September 2015

Badal Haji

Google+
Muhammadiyah Surabaya
Situsweb Resmi Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Surabaya


Badal Haji dalam Tinjauan Fiqih
oleh: Ustadz H. Imanan S.Ag. *)

Muqoddimah
(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. [QS. an-Najm (53): 38-39]

Badal Haji adalah sebuah istilah yang dikenal dalam fiqih Islam. Istilah yang lebih sering digunakan dalam kitab-kitab fiqih adalah al-hajju ‘anil ghair (الحج عن الغير), yaitu berhaji untuk orang lain.

Jadi yang dimaksud dengan badal haji adalah kegiatan menghajikan orang yang telah meninggal (yang belum haji) atau menghajikan orang yang sudah tak mampu melaksanakannya (secara fisik) disebabkan oleh suatu udzur, seperti sakit yang tak ada harapan sembuh.

Dan pada kenyataannya memang seseorang benar-benar melakukan ibadah haji, namun dia meniatkan agar pahalanya diberikan kepada orang lain, baik yang masih hidup namun tidak mampu pergi maupun yang sudah wafat.

Badal Haji masalah yang sampai sekarang menimbulkan kontroversial. Oleh karena itu, dalam tulisan yang ringkas ini kami mencoba menjernihkan masalah tersebut dan kami berharap penjelasan ini bisa mendatangkan maslahat bagi semua pihak khususnya yang saling berbeda pendapat dalam masalah ini.

Kita semua tahu, ibadah haji adalah ibadah yang amat mulia. Jadi, amat tidak pantas bila badal haji menjadi sebuah profesi, menjadi ajang bisnis, dan bahkan dipakai sebagai sarana menumpuk harta.

Semua ulama sepakat bahwa haji adalah ibadah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang mampu, sekali dalam seumur hidupnya. Namun ulama berbeda pendapat dalam hal boleh tidaknya melaksanakan badal haji.

Imam Maliki tidak memperbolehkan badal haji, kecuali kepada orang yang sebelum wafatnya sempat berwasiat agar dihajikan. Ini pun dengan harta peninggalannya sejauh tidak melebihi sepertiganya.

Alasan ulama yang tidak memperbolehkan badal haji adalah bahwasanya haji itu hanya diwajibkan kepada orang Islam yang mampu, baik fisik maupun keuangan. Jadi, kalau ada orang yang sakit atau lemah secara fisik maka ia dianggap orang yang tidak mampu, karena itu ia tidak berkewajiban haji. Demikian juga orang yang telah wafat, ia dianggap sudah tidak berkewajiban untuk haji. Karena itu orang yang lemah secara fisik hingga tidak kuat untuk berhaji apalagi orang yang sudah wafat, maka kepada orang tersebut tidak perlu dilakukan badal haji. Orang ini dipandang telah gugur kewajiban hajinya.

Badal haji ini menjadi masalah mengingat ada beberapa ayat al-Qur’an yang dapat difahami bahwa seseorang hanya akan mendapatkan pahala dari hasil usahanya sendiri. Artinya, seseorang tidak dapat melakukan suatu peribadatan untuk orang lain, pahala dari peribadatan itu tetap bagi orang yang melakukannya bukan bagi orang lain.

Argumentasi ulama yang tidak memperbolehkan badal haji:

1. Ibadah haji itu, sungguhnya terdiri dari dua macam yaitu ibadah fisik dan ibadah harta, namun unsur fisiknya lebih dominan. Karena itu ibadah haji tidak boleh diwakilkan atau digantikan oleh orang lain.

2. Berdasarkan al-Qur’an surat al-Najm (53): 39, Alloh berfirman:

وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya
Dan ayat-ayat lain, diantaranya:
…ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya, dan la mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya … [QS. al-Baqoroh (2): 286]
Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun, dan kamu tidak dibalas kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan. [QS. Yaasin (36): 54]
Serta hadits:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Rosululloh saw. Bersabda: apabila seorang manusia meninggal dunia, terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal: shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholih yang mendoakannya. [HR. Muslim]
Ayat-ayat dan hadits tersebut di atas menunjukkan bahwa seseorang hanya akan dapat pahala jika ia sendiri yang melakukannya. Karena itu amal ibadah ya

Perempuan Sempurna

” Perempuan Sempurna”
(Catatan Untuk ISTRI yang berusaha HEBAT tanpa SUAMI HEBAT)

Bismillahirr Rahmanirr Rahim …

Siapakah Kau, Perempuan Sempurna?

Ketika akhirnya saya dilamar oleh seorang lelaki, saya luruh dalam kelegaan. Apalagi lelaki itu, kelihatannya ‘relatif’ sempurna. Hapalannya banyak, shalih, pintar. Ia juga seorang aktivis dakwah yang sudah cukup matang. Kurang apa coba?

Saya merasa sombong! Ketika melihat para lajang kemudian diwisuda sebagai pengantin, saya secara tak sadar membandingkan, lebih keren mana suaminya dengan suami saya. Sampai akhirnya air mata saya harus mengucur begitu deras, ketika suatu hari menekuri 3 ayat terakhir surat At-Tahrim.

Sebenarnya, sebagian besar ayat dalam surat ini sudah mulai saya hapal sekitar 10 tahun silam, saat saya masih semester awal kuliah.

Akan tetapi, banyak hapalan saya menguap, dan harus kembali mengucur bak air hujan ketika saya menjadi satu grup dengan seorang calon hafidzah di kelompok pengajian yang rutin saya ikuti. Ini terjemah ayat tersebut:

66:10. Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)”.

66:11. Dan Allah membuat istri Firaun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang lalim”,

66: 12. dan Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab-Nya; dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat.

SEBUAH KONTRADIKSI
Ada 4 orang yang disebut dalam 3 ayat tersebut. Mereka adalah Istri Nuh, Istri Luth, Istri Firaun dan Maryam. Istri Nuh (IN), dan Istri Luth (IL) adalah symbol perempuan kafir, sedangkan Istri Firaun (IF) dan Maryam (M), adalah symbol perempuan beriman.

Saya terkejut, takjub dan ternganga ketika menyadari bahwa ada sebuah kontradiksi yang sangat kuat. Allah memberikan sebuah permisalan nan ironis. Mengapa begitu? IN dan IL adalah contoh perempuan yang berada dalam pengawasan lelaki shalih. Suami-suami mereka setaraf Nabi (bandingkan dengan suami saya! Tak ada apa-apanya, bukan?).

Akan tetapi mereka berkhianat, sehingga dikatakanlah kepada mereka, waqilad khulannaaro ma’ad daakhiliin…

Sedangkan antitesa dari mereka, Allah bentangkan kehidupan IF (Asiyah binti Muzahim) dan M. Hebatnya, IF adalah istri seorang thaghut, pembangkang sejati yang berkoar-koar menyebut “ana rabbukumul a’la.”

Dan Maryam, ia bahkan tak memiliki suami. Ia rajin beribadah, dan Allah tiba-tiba berkehendak meniupkan ruh dalam rahimnya. Akan tetapi, cahaya iman membuat mereka mampu tetap bertahan di jalan kebenaran. Sehingga Allah memujinya, wa kaanat minal qaanithiin…

PEREMPUAN SEMPURNA

Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda: ”Sebaik-baik wanita penghuni surga itu adalah Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad, Asiyah binti Muzahim istri Firaun, dan Maryam binti Imran.” (HR. Ahmad 2720, berderajat shahih).

Empat perempuan itu dipuji sebagai sebaik-baik wanita penghuni surga. Akan tetapi, Rasulullah saw masih membuat strata lagi dari 4 orang tersebut. Terpilihlah dua perempuan yang disebut sebagai perempuan sempurna. Rasul bersabda, “Banyak lelaki yang sempurna, tetapi tiada wanita yang sempurna kecuali Asiyah istri Firaun dan Maryam binti Imran.

Sesungguhnya keutamaan Asiyah dibandingkan sekalian wanita adalah sebagaimana keutamaan bubur roti gandum dibandingkan dengan makanan lainnya.” (Shahih al-Bukhari no. 3411).

Inilah yang membuat saya terkejut! Bahkan perempuan sekelas Fathimah dan Khadijah pun masih ‘kalah’ dibanding Asiyah Istri Fir’aun dan Maryam binti Imran. Apakah gerangan yang membuat Rasul menilai semacam itu? Ah, saya bukan seorang mufassir ataupun ahli hadits.

Namun, dalam keterbatasan yang saya mengerti, tiba-tiba saya sedikit meraba-raba, bahwa penyebabnya adalah karena keberadaan suami.

Khadijah, ia perempuan hebat, namun ia tak sempurna, karena ia diback-up total oleh Rasul terkasih Muhammad saw., seorang lelaki hebat. Fathimah, ia dahsyat, namun ia tak sempurna, karena ada Ali bin Abi Thalib ra, seorang pemuda mukmin yang tangguh.

Sedangkan Asiyah? Saat ia menanggung deraan hidup yang begitu dahsyat, kepada siapa ia menyandarkan tubuhnya, karena justru yang menyiksanya adalah suaminya sendiri.

Siksaan yang membuat ia berdoa, dengan gemetar, “Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang lalim.” Siksaan yang membuat nyawanya terbang, ah… tidak mati, namun menuju surga. Mendapatkan rizki dan bersukaria dengan para penduduk akhirat.

Bagaimana pula dengan Maryam? Ia seorang lajang yang dipilih Allah untuk menjadi ibunda bagi Nabi Isa. Kepada siapa ia mengadu atas tindasan kaumnya yang menuduh ia sebagai pezina? Pantas jika Rasul menyebut mereka: Perempuan sempurna…

JADI, YANG MENGANTAR ke Surga, Adalah Amalan kita, jadi bukan karena (sekadar) lelaki shalih yang menjadi pendamping kita. Suami yang baik, memang akan menuntun kita menuju jalan ke surga, mempermudah kita dalam menjalankan perintah agama.

Namun, jemari akan teracung pada para perempuan yang dengan kelajangannya (namun bukan sengaja melajang), atau dengan kondisi suaminya yang memprihatinkan (yang juga bukan karena kehendak kita), ternyata tetap bisa beramal dan cemerlang dalam cahaya iman.

Kalian adalah Maryam-Maryam dan Asiyah-Asiyah, yang lebih hebat dari Khadijah-Khadijah dan Fathimah-Fathimah.

Sebaliknya, alangkah hinanya para perempuan yang memiliki suami-suami nan shalih, namun pada kenyataannya, mereka tak lebih dari istri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth. Yang alih-alih mendukung suami dalam dakwah, namun justru menggelendot manja, “Mas… kok pergi   terus sih, sekali-kali libur dong!” Atau, “Mas, aku pengin beli motor yang bagus, gimana kalau Mas korupsi aja…”

Benar, bahwa istri hebat ada di samping suami hebat. Namun, lebih hebat lagi adalah istri yang tetap bisa hebat meskipun terpaksa bersuamikan orang tak hebat, atau bahkan tetapi melajang karena berbagai sebab nan syar’i. Dan betapa rendahnya istri yang tak hebat, padahal suaminya orang hebat dan membentangkan baginya berbagai kemudahan untuk menjadi hebat. Hebat sebagai hamba Allah Ta’ala!
Dikirim dari komunitas haji kosorsium Masindo . Salam takzim

Muqadimmah Tafsir

Selasa: kajian tafsir

��MUQADDIMAH TAFSIR��

��Pengertian tafsir secara bahasa

Para ulama ahli bahasa berbeda pendapat tentang akar kata ‘tafsir’ dalam dua pendapat:

✏ Pendapat pertama: 

قيل هي من " الفَسْرُ " بمعنى البيان والكشف ، وفسَّرَه أبانه ووضحه ، وفسر القول إذا كشف المراد عن اللفظ المشكل

Berasal dari kata “ al fasru” artinya al bayan ( penjelasan ) dan al kasyfu ( menyingkap ), fassarahu berarti menjelaskan dan menerangkannya, fasaral qaul, jika menyingkap makna-makna dari lafadz yang sulit.

(Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, 5/555) Mukhtarus Sihah1/211, Azhari, Thdzibul Lughah, 12/407)

Allah berfirman didalam Al Qur’an:

وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا

Dan mereka (orang-orang kafir itu) tidak datang kepadamu (membawa) sesuatu yang aneh, melainkan Kami datangkan kepadamu yang benar dan penjelasan yang paling baik ( QS. Al Furqan:33)

✏Pendapat kedua:

قيل : هو مقلوب من " سَفَر " بمعنى كشف، يقال : سَفَرت المرأةُ سفوراً إذا ألقتْ خِمَارَها عن وجهها وهي سافرة ، وأسفر الصبح أضاء وأشرق

Tafsir merupakan bentuk terbalik dari kata “safara” artinya menyingkap, dikatakan safarat imra’atu safuran, jika ia menyingkap penutup wajahnya, “asfara subha” jika cahayanya bersinar terang.

( Fairuz Abadi, Qamus Al Muhith 2/113, Zarkasyi, Al Burhan 1/148)

��Pengertian tafsir secara istilah

Beragam pendapat para ulama terkait pengertian tafsir menurut istilah, diantaranya:

1⃣ Ibnu Juzayyi( 741 H ) berpendapat yang dimaksud dengan tafsir adalah:

شرح القرآن، وبيان معناه ، والإفصاح بما يقتضيه بنصِّه ،أو إشارته ، أو نحوهما

“Penjabaran dan penjelasan makna Al Qur’an, keterangan yang sesuai dengan nash    ( teks ) atau isyarat atau sejenisnya

( Ibnu Juzayyi, at Tashil  li Ulumi at Tanzil 1/6 )

2⃣ Abu Hayyan Al Andalusy ( 745 H )

علمٌ يُبحثُ فيه عن كيفية النطق بألفاظ القرآن ، ومدلولاتها ، وأحكامِها الإفرادية والتركيبيَّةِ ، ومعانيها التي تُحمل ُ عليها حالَ التركيبِ ، وتتمات ذلك

Ilmu yang membahas tatacara pengucapan lafadz Al Qur’an, petunjuk, hukum-hukum baik tunggal maupun tarkib  ( susunan kalimat ), dan makna yang tercakup didalam susunan kalimat tersebut dan kesempurnaannya.
( Abu Hayyan, Al Bahrul Muhith 1/ 23 )

Beliau lalu menjelaskan yang dimaksud dengan ilmu disini adalah ilmu yang luas cakupannya, yang membahas tentang ilmu Qiraat dan lafadz, ilmu Sharaf, I’rab. Bayan dan ilmu Badi’, ilmu Nasakh dan Mansukh, Sabab Nuzul serta kisah-kisah didalam Al Qur’an.

3⃣ Imam Az Zarkasy ( 794 H ) berpendapat bahwa:

علم يفهم به كتاب الله تعالى المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم وبيان معانيه واستخراج أحكامه وحكمه
     Ilmu untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Rasulullah Shalallahu        Alaihi Wasallam beserta penjelasan makna dan memilah hukum dan hikmahny.
           ( Al Burhan Fi Ulumil Qur’an 1/19)

4⃣ Al Jurjany ( 816 H) berpendapat:

توضيح معنى الآية وشأنها وقصتها والسبب الذي نزلت فيه بلفظ يدل عليه دلالة ظاهرة

Ilmu yang menjelaskan makna dan kondisi ayat, kisah-kisah, sebab-sebab ayat diturunkan dengan lafadz yang menunjukkan makna yang jelas. (At Ta’rifat, 67 )

5⃣ Ibnu Asyur berpendapat:

هو اسم للعلم الباحث عن بيان معاني ألفاظ القرآن وما يستفاد منها باختصار أو توسع

Ilmu yang meneliti tentang makna lafadz Al Qur’an dan kandungannya secara simple atau luas. ( At Tahrir wa Tanwir, 1/3)

6⃣ Az Zarqani berpendapat:

علم يُبحث فيه عن أحوال القرآن الكريم من حيث دلالته على مراد الله تعالى بقدر الطاقة البشرية

Ilmu yang membahas tentang Al Qur’an dari sisi petunjuk   dan apa yang Allah kehendaki dari ayat tersebut sesuai dengan kemampuan manusiawi.
( Manahilul Irfan 2/4 )

Dari berbagai pendapat ulama tentang pengertian ilmu tafsir dapat disimpulkan bahwa ilmu tafsir adalah: 

��Ilmu yang membahas tentang penjelasan dan penjabaran makna Al Quran sesuai dengan kemampuan manusiawi berdasarkan nash dan isyarat-isyarat yang terkandung didalamnya.��

��Pembagian Tafsir

Tafsir ada dua jenis:

1⃣ Tafsir bil ma’tsur ( menggunakan  ilmu yang diturunkan Allah dan Rasulnya )

2⃣ Tafsir bi Ra’yi ( menggunakan  akal )

��Metode Menafsirkan Al Quran

✏Menafsirkan Al Quran dengan Al Quran.

Ibnul Qayyim Al Jauziyah berkata,” Menafsirkan Al Qur’an dengan Al Qur’an adalah metode terbaik karena Allahlah yang menurunkan Al Qur’an dan Dia yang lebih mengetahui maknanya.” ( At Tibyan fi Aqsamil Qur’an, 185)

Contoh contoh berikut menukil  dari kitab Ushul Fi Tafsir karya Syekh Muhammad Shalih Al 'Utsaimin:

Firman Allah:

وَمَا أَدْرَاكَ مَا الطَّارِقُ

“ Dan tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari?” ( QS. At Thariq:2 )

Makna dari at Thariq ditafsirkan oleh ayat ketiga: النَّجْمُ الثَّاقِبُ
“ Yaitu bintang yang bersinar terang” ( QS. At Thariq:3 )

Firman Allah:

وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْقَارِعَةُ
“Dan tahukah kamu apakah hari kiamat itu?” ( QS. Al Qari’ah:3 )

Pengertian Al Qariah  ( hari kiamat ) ditafsirkan oleh ayat berikutnya:

يَوْمَ يَكُونُ النَّاسُ كَالْفَرَاشِ الْمَبْثُوثِ

“Pada hari itu manusia seperti anai-anai ( laron ) yang beterbangan” ( QS. Al Qari’ah:4)

Firman Allah:

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“ Ingatlah wali-wali Allah itu tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak bersedih hati “ ( QS. Yunus:62 )

Kalimat  أَوْلِيَاءَ اللَّهِ  (wali-wali Allah) ditafsirkan oleh ayat berikutnya:

الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
“ ( Yaitu ) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa”

Firman Allah:

وَالْأَرْضَ بَعْدَ ذَلِكَ دَحَاهَا

“Dan setelah itu bumi dihamparkan” ( QS. An Naziat:30 )

Makna kalimat دَحَاهَا ditafsirkan oleh ayat setelahnya yaitu:

أَخْرَجَ مِنْهَا مَاءَهَا وَمَرْعَاهَا
“darinya dipancarkan mata air dan ditumbuhkanlah tanaman”(QS. An Naziat”31)

✏Menafsirkan Al Quran dengan perkataan Rasulullah, karena Rasulullah adalah Penyampai risalah Allah, tentu beliau lebih mengetahui maksud dari firman Allah, disini Al Qur’an ditafsirkan dengan sunnah Rasulullah.

Contoh:

لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَة

“ Bagi orang-orang yang berbuat baik ada pahala yang terbaik dan tambahannya” ( QS. Yunus:26 )

Makna  وَزِيَادَة ( tambahannya ) diterangkan oleh hadits Rasulullah sebagai “ melihat wajah Allah Subhanahu wata’ala. Seperti disebutkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dari hadits Abu Musa dan Ubay bin Ka’ab. Ibnu Jarir meriwayatkan hadits dari Kaab Bin Ujrah dari Suhaib bin Sinan dalam Sahih Muslim, saat hijab terbuka dan tak ada yang lebih aku sukai selain melihat wajah Allah Subhanahu wata’ala, kemudian Rasulullah membaca ayat tersebut diatas.(HR. Muslim no. 181 )

Contoh;

وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدْوَّ اللّهِ وَعَدُوَّكُمْ (الأنفال:60

“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki, dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh-musuh Allah dan musuhmu ( QS. Al Anfal:60

Kemudian Rasulullah menafsirkan makna quwwah dalam haditsnya:

عَنْ أَبِي عَلِيٍّ ثُمَامَةَ بْنِ شُفَيٍّ أَنَّهُ سَمِعَ عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ يَقُولُا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُو عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُولُ وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ أَلَا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ أَلَا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ أَلَا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ
[ متفق عليه ]

Dari Abi Umamah Ali bin Syufa ia mendengar Uqbah bin Amir berkata,” Aku mendengar Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam berkata dari atas mimbar,” Dan persiapkanlah segala kemampuan dengan kekuatan kalian, ketahuilah kekuatan adalah melempar, kekuatan adalah melempar, kekuatan adalah melempar” ( Muttafaq Alaih )

Bersambung….

��������

Ust. Fauzan Sugiono, Lc

�� Dipersambahkan oleh grup WA - MANTAP - MAJELIS NGAJI TAPOS,DEPOK ��

Sebarkan! raih pahala ..

  

Siklus Paceklik dan Celah-celah Berkah

SIKLUS PACEKLIK DAN CELAH-CELAH BERKAH

http://salimafillah.com/siklus-paceklik-dan-celah-celah-berkah/

Kepada Yang Terhormat,
Presiden Republik Indonesia

Keselamatan, kasih sayang Allah, dan kebaikan yang tiada henti bertambah semoga dilimpahkan ke atas Ayahanda Presiden,

Sungguh benar bahwa cara terbaik menasehati pemimpin adalah dengan menjumpainya empat mata, menggandeng tangannya, duduk mesra, dan membisikkan ketulusan itu hingga merasuk ke dalam jiwa.

Tapi tulisan ini barangkali tak layak disebut nasehat. Yang teranggit ini hanya uraian kecil yang semoga menguatkan diri kami sendiri sebagai bagian dari bangsa ini untuk menghela badan ke masa depan yang temaram.

Mengapa ia di-kepada-kan untuk Ayahanda; harapannya adalah agar huruf-huruf ini kelak menjadi saksi di hadapan Allah dan semesta akan cinta kami kepada Indonesia. Syukur-syukur jika ia mengilhami para pemimpin yang berwenang-berdaulat, untuk melakukan langkah-langkah yang perlu bagi kemaslahatan kami. Dan bermurah hatilah mendoakan kami Ayahanda, agar jikapun kami hanya rumput yang kisut, ia tetap dapat teguh lembut dan tak luruh dipukul ribut bahkan ketika karang pelindung kami rubuh lalu hanyut.

Ayahanda Presiden, izinkan kami memulai hatur-tutur ini dengan sebuah kisah.
Ini adalah masa kepemimpinan Sayyidina 'Umar ibn Al Khaththab, tahun 18 Hijriah. Musim panas berkepanjangan disertai angin kering membawa debu-abu menghantam negeri yang baru saja tumbuh itu. Panen hancur, tetanaman musnah, ternak binasa, diikuti 2 tahun kelaparan yang melanda sebentang jazirah dari Yaman, Hijjaz, Yamamah, hingga Nejd; sementara wabah dari arah Syam turut mengganas hingga ke Madinah.

Masa itu lalu dikenal sebagai ‘Tahun Ramadah’, sebagaimana ditulis Ibn Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah, karena bumi tampak hitam kelabu seperti warna ramad (abu jelaga). Ibn Manzhur sebagaimana dikutip dalam Lisanul ‘Arab menyatakan, “Ramada, atau armada; adalah ungkapan jika terjadi kebinasaan. Disebut tahun ramadah sebab musnahnya sebagian manusia, tumbuhan, ternak, dan harta benda pada saat itu.”

Dampaknya yang dahsyat digambarkan Ibn Sa’d dalam Ath Thabaqatul Kubra, “..Hingga manusia terlihat mengangkat tulang yang rusak dan menggali lubang tikus untuk mengeluarkan apa yang ada di dalamnya.” Langkanya bahan pangan membuat harga melambung, sampai Imam Ath Thabary dalam Tarikh-nya menyebut, pada masa itu harga satu bejana susu dan sekantong keju mencapai 40 dirham.

Demikianpun, dinar dan dirham seakan benar-benar tiada guna karena jikapun ada uang berapa saja banyaknya, barang yang hendak dibeli sama sekali tiada. Kita tak lupa, paceklik ramadah terjadi tak berselang lama dari masa ketika perbendaharaan Kisra yang bertimbun-timbun diangkut ke Madinah pada tahun 14 Hijriah, juga hanya sebentar sebakda Syam dan Mesir yang makmur bergabung ke pangkuan Daulah.

Ayahanda Presiden,

Seakan-akan Allah hendak menunjukkan, bahwa ujianNya adalah kepastian berupa secicip ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan untuk memberi kabar gembira pada orang-orang yang sabar. Seakan-akan Allah hendak memperlihatkan, bahwa hari-hari di antara manusia memang dipergilirkan, lapang dan sempitnya, jaya dan prihatinnya. Seakan-akan Allah hendak menampakkan bahwa bahkan dalam Khilafah Rasyidah, masyarakat orang-orang shalih dengan pemimpin yang adil, tidak ada jaminan bebas dari krisis.

Tapi dengan cara ini pula Allah memperlihatkan kualitas seorang pemimpin, kualitas kepemimpinannya, dan kualitas mereka yang dipimpinnya. Inilah kesejatian sebuah peradaban; pada mutu jiwa manusianya, bukan kemewahan hidup dan kemegahan bebangunnya.

Masih tergambar jelas ketika ‘Umar menangis menyaksikan emas dan perak, permata dan sutra, permadani dan pernak-pernik mahal tiba dari Qadisiah dan Madain. Ketika itu ‘Abdurrahman ibn ‘Auf bertanya, “Mengapa engkau menangis wahai Amiral Mukminin? Padahal Allah telah memenangkan agamaNya dan memberikan kebaikan pada kaum mukminin lewat kepemimpinanmu?”

“Tidak demi Allah”, sahut ‘Umar. “Ini pastilah bukan kebaikan yang murni dan sejati. Seandainya ia adalah puncak kebaikan, niscaya Abu Bakr lebih berhak ini terjadi pada masanya daripada aku. Dan niscaya pula, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lebih berhak ini terjadi pada masa beliau daripada kami.” Lalu ‘Umar terus menangis mengkhawatirkan adanya fitnah yang akan timbul pada ummat Muhammad gegara harta itu. Setelah agak reda dari sesenggukannya, dia berkata, “Betapa amanahnya pasukan ini, dan betapa amanah pula panglimanya, Sa’d ibn Abi Waqqash.”

“Ini semua karena engkau”, sambut ‘Ali ibn Abi Thalib, “Tak menyimpan di dalam hatimu sebersitpun hasrat pada kekayaan dunia itu. Seandainya saja di dalam dadamu ada setitik saja syahwat terhadap perbendaharaan harta itu, niscaya pasukanmu akan saling bunuh demi memperebutkannya.”

Empat tahun kemudian kala menyaksikan Ramadah, ‘Umar kembali menangis. “Akankah ummat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam binasa di bawah kepemimpinanku?”, gerunnya berulang-kali. Saat itu, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf pula menguatkannya. “Tidak wahai Amirul Mukminin. Betapa telah berbedanya keadaan disebabkan keberkahan kepemimpinanmu?”

“Apa maksudmu wahai ‘Abdurrahman?”, sahut ‘Umar.

“Tidakkan kau perhatikan musibah dan orang-orang ini? Seandainya bencana ini terjadi di masa jahiliah, niscaya kaum Arab kesemuanya pasti sudah saling bunuh untuk memperebutkan sebulir gandum atau setetes air. Tapi lihatlah mereka ini; mereka semua bersabar dan teguh, mereka menangis tapi ridha kepada takdir Allah, mereka saling berbagi dengan mengutamakan saudaranya, serta bahu-membahu menghadapi semuanya dengan ketabahan yang takkan terbayangkan di masa dahulu.”

Pada zaman itu; bersebab kualitas manusianya, dalam krisispun jiwa mereka tampak berkilau, bersinar dari celah-celah berkah. Dalam makmur ataupun paceklik, suka dan duka, lapang serta sempit; mereka menunjukkan kualitas mental tertinggi yang akan menjadi modal peradaban Islam hingga abad-abad berikutnya. Ayahanda Presiden yang terhormat; andai diizinkan lancang memberi usul, betapa indah kalau program Revolusi Mental merujuk ke zaman ini.

***

Sementara itu Ayahanda,

Dalam makalahnya untuk Conference on Monetary Policy and Financial Stability in Emerging Markets di Istanbul, 13-15 Juni 2014, Guru Besar Ekonomi Harvard-Kennedy School, Jeffrey Frankel merujuk kisah Nabi Yusuf 'Alaihis Salaam tentang tafsirnya atas mimpi sang raja; tujuh sapi kurus yang memakan tujuh lembu gemuk dan tujuh runggai gandum yang segar penuh bulir serta tujuh tangkai yang kering lagi kopong.

"Supaya kalian bertanam 7 tahun sebagaimana biasa. Maka apa yang kalian tuai hendaklah kalian biarkan di bulirnya kecuali sedikit untuk kalian makan. Kemudian sesudah itu akan datang 7 tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kalian simpan untuk menghadapi tahun-tahun paceklik, kecuali sedikit dari bibit gandum yang kalian simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan dengan cukup dan di masa itu mereka memeras anggur." (QS Yusuf [12]: 47-49)

Frankel menggambarkan, seakan daur itu suatu pola yang dapat kita gunakan untuk membaca datang dan perginya paceklik di zaman kita. Dia menyebutnya, The Joseph Cycle.

Selama tujuh tahun antara 1975 hingga 1981, Oil Booming melimpahkan lonjakan pendapatan pada negara-negara penghasil minyak. Minyak mendapat gelar baru; emas hitam, dan istilah 'petro dollar' menggambarkan kekayaan negeri-negeri yang berlipat karenanya. Seakan menepati Daur Yusuf, setelah itu terjadi krisis utang global yang bermula di Meksiko pada tahun 1982. Hingga 1989, tahun-tahun ini disebut sebagai The Lost Decade di Amerika Latin.

Di rentang tahun 1990-1996, pola yang mirip terjadi lagi di kala muncul gejala emerging markets booming. Negara-negara berkembang mengalami pertumbuhan ekonomi yang dahsyat selama 7 tahun. Julukan Asian Tigers bagi mereka, di mana Indonesia dimasukkan sebagai salah satunya, mewarnai satu zaman yang gempita oleh apa yang disebut sebagai Asian Economic Miracles. Namun segera setelah itu terjadi krisis ekonomi Asia pada tahun 1997, yang seakan melibas dan membawa pada financial droughts hingga 7 tahun berikutnya.

Menurut Frankel dalam presentasinya yang bertajuk “What will happen to EMs when the Fed tightens?” itu, pola yang sama akan kembali terulang dalam rentang 2004-2018 ketika terjadi financial markets booming yang ditandai dengan maraknya produk derivatif lengkap dengan segala rekayasa keuangannya. Istilah “Carry Trade” dan perkembangan negara-negara yang disebut BRICs akan menjadi pemantiknya. Awalnya, selama tujuh tahun pasar keuangan berkembang dengan fantastis. Lagi-lagi seakan menyesuaii Siklus Yusuf, setelah itu kita juga mengalami krisis keuangan global.

***

Ayahanda Presiden,

Baik sesuai Siklus Yusuf atau tidak, dalam lintasan sejarah tampak nyata bahwa kelimpahan dan kesempitan memang datang dan pergi berganti-ganti nyaris secara niscaya. Tak ada negara yang terjamin bebas dari disambangi paceklik. Pun bahkan, sekali lagi untuk menegaskan, jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa; maka pintu keberkahan yang dibukakan dari langit dan bumi tak selalu berbentuk kesejahteraan tanpa jeda, melainkan juga berupa sisipan kesempitan yang membuat manusia kembali bermesra padaNya.

Menghadapi paceklik itu, dalam ketidakpastian tentang seberapa kuat ia akan menghantam, ada di antara kita yang mengkhawatirkan sang krisis. Keterbatasan pemahaman tentangnya dan berbagai gejala yang telah terasa, suka tak suka menimbulkan berbagai kegelisahan dan bahkan pesimisme. Inilah yang dialami sebagian besar masyarakat kini, terlebih mereka yang pernah mengalami tahun-tahun pahit 1997 dan menyisakan trauma dalam hati.

Barangkali mereka yang menginsyafi keniscayaan datangnya krisis itu akan lebih mengkhawatirkan kesiapan kita menghadapinya. Para jamhur ekonomi makro, para cendikia pengamat pergerakan mata uang maupun pasar saham, para winasis yang menyeksamai neraca perdagangan, cadangan devisa, maupun berbagai rasio indikator mungkin akan lebih jernih melihat hal ini.

Dan di luar sang paceklik serta kesiapan menghadapinya, bersebab keterbatasan ilmu penyusunnya, tulisan ini hanya hendak mengajak berbincang tentang sikap menghadapi krisis itu. Sebab sungguh diyakini, nestapa paling malang yang berhasil disikapi pasti menghasilkan sesuatu yang lebih baik dibanding keberhasilan paling gemilang yang gagal disikapi. Bahkan, berhasil menyikapi kegagalan, berlipat baiknya daripada gagal menyikapi keberhasilan.

Sejarah pernah menaburkan teladan-teladan sikap utama dari para mulia di zaman paceklik menyapa mereka. Semoga dengan menyimaknya, kita tertuntun pula menyusuri celah-celah berkah hingga Allah karuniakan kebaikan di masa depan, dunia dan akhirat.
Sebagaimana ditelaah oleh Dr. Jaribah ibn Ahmad Al Haritsi dalam disertasinya di Universitas Ummul Qura Makkah yang meraih predikat summa cum laude, Al Fiqhul Iqtishadi Li Amiril Mukminin ‘Umar ibn Al Khaththab; ada hal-hal menarik dari Sayyidina ‘Umar selaku pemimpin negeri dalam masa Ramadah yang patut dicatat.

Pertama, dia sebagai kepala negara memikul penuh tanggungjawab atas hal tersebut. Bahkan meskipun diyakinkan berulangkali oleh para sahabat bahwa semua yang terjadi merupakan takdir Allah, ‘Umar selalu merasa bahwa pangkal persoalannya adalah kepemimpinan dirinya yang dalam pandangannya amat jauh dari kualitas pribadi yang dimiliki kedua pendahulunya, yakni Rasulullah dan Abu Bakr. Maka ‘Umar selalu takut kepada Allah kalau-kalau ummat ini binasa dalam pemerintahannya. Dengan bercucuran airmata, berulang-kali dia berdoa, “Ya Allah, jangan kau jadikan ummat Muhammad binasa dalam kepemimpinanku.”

Barangkali ada berlapis-lapis alasan bagi ‘Umar dalam paceklik itu, semuanya berupa keadaan yang di luar kendalinya; hujan yang tak turun, anomali musim, panen yang gagal, para pengungsi yang membanjiri Madinah, wabah penyakit yang datang dari arah Syam. Tapi dia memilih untuk bermuhasabah, barangkali dosa dan kelemahannyalah yang jadi persoalan. Alih-alih menyalahkan berbagai hal ataupun pihak, dia menjadi lebih banyak diam, bermuhasabah, dan beristighfar.

Kedua, ‘Umar mengambil sikap untuk bersama rakyatnya dalam keprihatinan. ‘Umar adalah penyuka susu dan keju. Tapi sepanjang 2 tahun Ramadah, dia haramkan untuk dirinya makanan selain roti tepung kasar, garam, dan minyak. Para sahabat menyaksikan bagaimana kulit ‘Umar yang semula putih kemerah-merahan, berubah menjadi kuning kehitam-hitaman bersebab hidup prihatin yang dia paksakan untuk dirinya.

Barangkali hidup sederhana takkan menyelesaikan krisis dan tidak pula memberi solusi kepada paceklik parah itu. Penghematan yang terjadi juga tak signifikan sama sekali. Tapi ketika itulah rakyat akan melihat bahwa sang pemimpin ada bersama mereka, merasakan hal yang sama seperti yang mereka alami. Dengan itu, bertambah tentramlah hati mereka yang dipimpinnya. Ketika rakyat hatinya tenang, bahkan pemimpin yang tak solutif sekalipun akan melihat bahwa rakyatnya punya kemampuan dahsyat untuk mencari solusinya sendiri.

Ketiga, ‘Umar menjadikan masa Ramadah sebagai wahana untuk membangun solidaritas menyeluruh kepada berbagai bangsa yang dipimpinnya. Betapa dia meneladankan langsung mengangkuti tepung, minyak, dan lauk kering untuk para pengungsi dan penduduk Madinah. Dia pula menghimbau dan menyemangati rakyatnya untuk berbagi dan menanggung beban sesama. Dia tepuk-tepuk pundak seorang ‘relawan’ muda bernama Al Ahnaf ibn Qais, yang dengan terus berlari-lari sepanjang hari memenuhi hajat orang-orang, lalu ketika habis tenaganya, dia mengelemprak sembari menangis dan berdoa, “Ya Allah, jangan murka padaku jika masih ada hambaMu yang kelaparan.”

Kita sebagai bangsa juga punya modal sosial yang amat kuat untuk membangun solidaritas itu. Bahkan mungkin kita adalah salah satu negara dengan lembaga kemanusiaan yang amat banyak jumlahnya, bekerja menyalurkan zakat, infak, shadaqah, wakaf, hibah, hadiah, dan bahkan dana CSR dalam berbagai kegiatan sosial. Dukungan dan kebersamaan pemerintah akan kian meneguhkan kita pula sebagai bangsa yang tangguh.

Keempat, ‘Umar terus memikirkan dan merumuskan sistem jaminan sosial yang bisa membuat rakyatnya bertahan di tengah paceklik. Segala sumber daya yang ada di Baitul Maal, diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Dikisahkan bagaimana dia mengumpulkan 60 orang, lalu memasak sejumlah tepung menjadi roti dan daging kering sebagai lauknya lalu mempersilakan mereka makan. Ketika ditanyakan apakah mereka merasa kenyang dengan itu, semua menyatakan ya. Maka ‘Umar memutuskan, sejumlah bahan-bahan yang tadi dimasaklah yang akan diberikan sebagai tunjangan sosial bulanan bagi tiap jiwa yang musnah sumber penghidupannya selama Ramadah.

Kelima, ‘Umar menjadikan sektor pangan sebagai perhatian utama selama krisis dan setelahnya. Dari kisah Nabi Yusuf ‘Alaihis Salaam pun didapati bahwa, dalam masa kelangkaan di mana bahkan emas dan perak jadi tak berguna, Mesir selamat karena menata dengan baik konsumsi dan persediaan logistiknya. ‘Umar pun meminta Abu Musa Al Asy’ari untuk mengajarkan kebiasaan kaumnya yang dipuji Rasulullah, yakni; semua keluarga dalam tiap unit masyarakat mengumpulkan bahan pangan yang dimiliki menjadi satu dalam lumbung, kemudian pembagian kembali untuk konsumsi diatur dengan tata laksana gotong-royong yang adil dan penuh kebersamaan.

Inilah kebijaksanaannya; jika lumbung terpusat ala Yusuf tidak relevan untuk negaranya yang membentang dari Gurun Sahara hingga Sungai Indus; maka ketahanan pangan dibangun dalam unit-unit kecil masyarakat. Teknologi budidaya, pemanenan, pengolahan, dan penyimpanan panen di masa berikut kiranya amat membantu lahiriah dari jiwa-jiwa yang berbagi suka dan duka.

‘Umar pula mengunjungi beberapa daerah pantai dan menemui para nelayan. Dengan pujiannya ketika membersamai mereka melaut, “Betapa baiknya cara kalian menjemput rizqi Allah”, dia meminta pelipatgandaan penyediaan ikan dan membiasakan rakyatnya memakan hasil laut. ‘Umar juga melarang segala jenis ternak dan hewan peliharaan diberi makan dengan apa yang dapat dikonsumsi manusia. Dia sangat marah ketika pada sebuah peternakan unta ditemukan kotoran yang mengandung jejak tepung sya’ir.

Keenam, ‘Umar menggesa pembangunan infrastruktur dan jaminan keamanan yang mendukung kelancaran suplai logistik. Pada jalur antara Syam ke Madinah, Kufah ke Madinah, dan bersambung hingga Yaman; didirikan pos-pos penjagaan dan tempat-tempat istirahat kafilah yang memadai. Di tahun berikutnya, setelah melihat lama dan mahalnya angkutan darat dari Mesir ke ibukota, ‘Umar memerintahkan Gubernur ‘Amr ibn Al ‘Ash untuk menggali kanal yang menghubungkan Sungai Nil dengan Laut Merah, sehingga hasil pertanian Mesir yang berlimpah dapat diangkut dengan cepat ke Madinah untuk menekan harganya. Terusan itu tetap berfungsi hingga akhir masa pemerintahan Sayyidina ‘Utsman ibn ‘Affan.

Ketujuh; ‘Umar memberlakukan beberapa kebijakan yang meringankan beban tanggungan masyarakat. Selama masa Ramadah, zakat hewan ternak ditunda penarikannya, pemeroleh jaminan sosial diperluas dari semula bayi tersapih menjadi sejak bayi lahir, bahkan beberapa hukuman ditangguhkan penerapannya termasuk pencurian yang benar-benar bersebab kebutuhan dan tak mencapai nilai seperempat dinar. Sebaliknya, ketika menemukan lahan subur milik para pemuka kaum tak digarap dalam tinjauannya ke Iraq, dia tegas mengultimatum bahwa jika dalam waktu tertentu sang tuan tanah tak menjadikannya produktif, negara berhak menyita dan mengamanahkannya pada yang mampu menanaminya.

Kedelapan, boleh jadi inilah yang terpenting; keberserahan diri ‘Umar kepada Allah dan upayanya dalam memohon pertolongan Allah. Suatu hari di puncak paceklik, digandengnya erat Sayyidina ‘Abbas ibn ‘Abdil Muthalib setelah bersama-sama menunaikan shalat istisqa’. Dengan berlinang dia berkata, “Ya Allah, dulu kami memohon hujan dengan perantaraan NabiMu. Kini kami mohon turunkanlah lagi hujan itu dengan perantaraan doa Paman NabiMu ini.” Tak lama kemudian angin mengarak awan hitam di langit Madinah, dan hujanpun turun dengan deras. Inilah sang pemimpin, dia merunduk pada Allah dan menggandeng erat orang-orang shalih.

Ayahanda Presiden yang terhormat,

Kami akhiri hatur-tutur ini dengan tiga kata yang menggambarkan sifat pemimpin menurut Pujangga Keraton Surakarta, Raden Ngabehi Rangga Warsita, yakni momor, momot, dan momong. Momor berarti hadir, dekat, bersama, menyatu, dan seperasaan dengan yang dipimpin. Momot artinya mampu memuat segala beban, keluhan, dan harapan yang dipimpin. Adapun momong artinya, menjaga, mencukupi, mengasuh, mengasihi, dan mengasah yang dipimpin. Doa kami selalu, semoga Panjenengan nDalem mampu mengemban amanah lebih dari 250 juta manusia yang amat berpotensi menjadi pendakwa, bukan pembela di akhirat sana.

Hamba Allah yang tertawan dosanya,
@salimafillah
FB: Salim A. Fillah

Muqadimmah Tafsir

Selasa: kajian tafsir

��MUQADDIMAH TAFSIR��

��Pengertian tafsir secara bahasa

Para ulama ahli bahasa berbeda pendapat tentang akar kata ‘tafsir’ dalam dua pendapat:

✏ Pendapat pertama: 

قيل هي من " الفَسْرُ " بمعنى البيان والكشف ، وفسَّرَه أبانه ووضحه ، وفسر القول إذا كشف المراد عن اللفظ المشكل

Berasal dari kata “ al fasru” artinya al bayan ( penjelasan ) dan al kasyfu ( menyingkap ), fassarahu berarti menjelaskan dan menerangkannya, fasaral qaul, jika menyingkap makna-makna dari lafadz yang sulit.

(Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, 5/555) Mukhtarus Sihah1/211, Azhari, Thdzibul Lughah, 12/407)

Allah berfirman didalam Al Qur’an:

وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا

Dan mereka (orang-orang kafir itu) tidak datang kepadamu (membawa) sesuatu yang aneh, melainkan Kami datangkan kepadamu yang benar dan penjelasan yang paling baik ( QS. Al Furqan:33)

✏Pendapat kedua:

قيل : هو مقلوب من " سَفَر " بمعنى كشف، يقال : سَفَرت المرأةُ سفوراً إذا ألقتْ خِمَارَها عن وجهها وهي سافرة ، وأسفر الصبح أضاء وأشرق

Tafsir merupakan bentuk terbalik dari kata “safara” artinya menyingkap, dikatakan safarat imra’atu safuran, jika ia menyingkap penutup wajahnya, “asfara subha” jika cahayanya bersinar terang.

( Fairuz Abadi, Qamus Al Muhith 2/113, Zarkasyi, Al Burhan 1/148)

��Pengertian tafsir secara istilah

Beragam pendapat para ulama terkait pengertian tafsir menurut istilah, diantaranya:

1⃣ Ibnu Juzayyi( 741 H ) berpendapat yang dimaksud dengan tafsir adalah:

شرح القرآن، وبيان معناه ، والإفصاح بما يقتضيه بنصِّه ،أو إشارته ، أو نحوهما

“Penjabaran dan penjelasan makna Al Qur’an, keterangan yang sesuai dengan nash    ( teks ) atau isyarat atau sejenisnya

( Ibnu Juzayyi, at Tashil  li Ulumi at Tanzil 1/6 )

2⃣ Abu Hayyan Al Andalusy ( 745 H )

علمٌ يُبحثُ فيه عن كيفية النطق بألفاظ القرآن ، ومدلولاتها ، وأحكامِها الإفرادية والتركيبيَّةِ ، ومعانيها التي تُحمل ُ عليها حالَ التركيبِ ، وتتمات ذلك

Ilmu yang membahas tatacara pengucapan lafadz Al Qur’an, petunjuk, hukum-hukum baik tunggal maupun tarkib  ( susunan kalimat ), dan makna yang tercakup didalam susunan kalimat tersebut dan kesempurnaannya.
( Abu Hayyan, Al Bahrul Muhith 1/ 23 )

Beliau lalu menjelaskan yang dimaksud dengan ilmu disini adalah ilmu yang luas cakupannya, yang membahas tentang ilmu Qiraat dan lafadz, ilmu Sharaf, I’rab. Bayan dan ilmu Badi’, ilmu Nasakh dan Mansukh, Sabab Nuzul serta kisah-kisah didalam Al Qur’an.

3⃣ Imam Az Zarkasy ( 794 H ) berpendapat bahwa:

علم يفهم به كتاب الله تعالى المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم وبيان معانيه واستخراج أحكامه وحكمه
     Ilmu untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Rasulullah Shalallahu        Alaihi Wasallam beserta penjelasan makna dan memilah hukum dan hikmahny.
           ( Al Burhan Fi Ulumil Qur’an 1/19)

4⃣ Al Jurjany ( 816 H) berpendapat:

توضيح معنى الآية وشأنها وقصتها والسبب الذي نزلت فيه بلفظ يدل عليه دلالة ظاهرة

Ilmu yang menjelaskan makna dan kondisi ayat, kisah-kisah, sebab-sebab ayat diturunkan dengan lafadz yang menunjukkan makna yang jelas. (At Ta’rifat, 67 )

5⃣ Ibnu Asyur berpendapat:

هو اسم للعلم الباحث عن بيان معاني ألفاظ القرآن وما يستفاد منها باختصار أو توسع

Ilmu yang meneliti tentang makna lafadz Al Qur’an dan kandungannya secara simple atau luas. ( At Tahrir wa Tanwir, 1/3)

6⃣ Az Zarqani berpendapat:

علم يُبحث فيه عن أحوال القرآن الكريم من حيث دلالته على مراد الله تعالى بقدر الطاقة البشرية

Ilmu yang membahas tentang Al Qur’an dari sisi petunjuk   dan apa yang Allah kehendaki dari ayat tersebut sesuai dengan kemampuan manusiawi.
( Manahilul Irfan 2/4 )

Dari berbagai pendapat ulama tentang pengertian ilmu tafsir dapat disimpulkan bahwa ilmu tafsir adalah: 

��Ilmu yang membahas tentang penjelasan dan penjabaran makna Al Quran sesuai dengan kemampuan manusiawi berdasarkan nash dan isyarat-isyarat yang terkandung didalamnya.��

��Pembagian Tafsir

Tafsir ada dua jenis:

1⃣ Tafsir bil ma’tsur ( menggunakan  ilmu yang diturunkan Allah dan Rasulnya )

2⃣ Tafsir bi Ra’yi ( menggunakan  akal )

��Metode Menafsirkan Al Quran

✏Menafsirkan Al Quran dengan Al Quran.

Ibnul Qayyim Al Jauziyah berkata,” Menafsirkan Al Qur’an dengan Al Qur’an adalah metode terbaik karena Allahlah yang menurunkan Al Qur’an dan Dia yang lebih mengetahui maknanya.” ( At Tibyan fi Aqsamil Qur’an, 185)

Contoh contoh berikut menukil  dari kitab Ushul Fi Tafsir karya Syekh Muhammad Shalih Al 'Utsaimin:

Firman Allah:

وَمَا أَدْرَاكَ مَا الطَّارِقُ

“ Dan tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari?” ( QS. At Thariq:2 )

Makna dari at Thariq ditafsirkan oleh ayat ketiga: النَّجْمُ الثَّاقِبُ
“ Yaitu bintang yang bersinar terang” ( QS. At Thariq:3 )

Firman Allah:

وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْقَارِعَةُ
“Dan tahukah kamu apakah hari kiamat itu?” ( QS. Al Qari’ah:3 )

Pengertian Al Qariah  ( hari kiamat ) ditafsirkan oleh ayat berikutnya:

يَوْمَ يَكُونُ النَّاسُ كَالْفَرَاشِ الْمَبْثُوثِ

“Pada hari itu manusia seperti anai-anai ( laron ) yang beterbangan” ( QS. Al Qari’ah:4)

Firman Allah:

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“ Ingatlah wali-wali Allah itu tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak bersedih hati “ ( QS. Yunus:62 )

Kalimat  أَوْلِيَاءَ اللَّهِ  (wali-wali Allah) ditafsirkan oleh ayat berikutnya:

الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
“ ( Yaitu ) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa”

Firman Allah:

وَالْأَرْضَ بَعْدَ ذَلِكَ دَحَاهَا

“Dan setelah itu bumi dihamparkan” ( QS. An Naziat:30 )

Makna kalimat دَحَاهَا ditafsirkan oleh ayat setelahnya yaitu:

أَخْرَجَ مِنْهَا مَاءَهَا وَمَرْعَاهَا
“darinya dipancarkan mata air dan ditumbuhkanlah tanaman”(QS. An Naziat”31)

✏Menafsirkan Al Quran dengan perkataan Rasulullah, karena Rasulullah adalah Penyampai risalah Allah, tentu beliau lebih mengetahui maksud dari firman Allah, disini Al Qur’an ditafsirkan dengan sunnah Rasulullah.

Contoh:

لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَة

“ Bagi orang-orang yang berbuat baik ada pahala yang terbaik dan tambahannya” ( QS. Yunus:26 )

Makna  وَزِيَادَة ( tambahannya ) diterangkan oleh hadits Rasulullah sebagai “ melihat wajah Allah Subhanahu wata’ala. Seperti disebutkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dari hadits Abu Musa dan Ubay bin Ka’ab. Ibnu Jarir meriwayatkan hadits dari Kaab Bin Ujrah dari Suhaib bin Sinan dalam Sahih Muslim, saat hijab terbuka dan tak ada yang lebih aku sukai selain melihat wajah Allah Subhanahu wata’ala, kemudian Rasulullah membaca ayat tersebut diatas.(HR. Muslim no. 181 )

Contoh;

وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدْوَّ اللّهِ وَعَدُوَّكُمْ (الأنفال:60

“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki, dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh-musuh Allah dan musuhmu ( QS. Al Anfal:60

Kemudian Rasulullah menafsirkan makna quwwah dalam haditsnya:

عَنْ أَبِي عَلِيٍّ ثُمَامَةَ بْنِ شُفَيٍّ أَنَّهُ سَمِعَ عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ يَقُولُا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُو عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُولُ وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ أَلَا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ أَلَا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ أَلَا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ
[ متفق عليه ]

Dari Abi Umamah Ali bin Syufa ia mendengar Uqbah bin Amir berkata,” Aku mendengar Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam berkata dari atas mimbar,” Dan persiapkanlah segala kemampuan dengan kekuatan kalian, ketahuilah kekuatan adalah melempar, kekuatan adalah melempar, kekuatan adalah melempar” ( Muttafaq Alaih )

Bersambung….

��������

Ust. Fauzan Sugiono, Lc

�� Dipersambahkan oleh grup WA - MANTAP - MAJELIS NGAJI TAPOS,DEPOK ��

Sebarkan! raih pahala ..

  

Minggu, 06 September 2015

Siklus Paceklik dan Celah-celah Berkah

SIKLUS PACEKLIK DAN CELAH-CELAH BERKAH

http://salimafillah.com/siklus-paceklik-dan-celah-celah-berkah/

Kepada Yang Terhormat,
Presiden Republik Indonesia

Keselamatan, kasih sayang Allah, dan kebaikan yang tiada henti bertambah semoga dilimpahkan ke atas Ayahanda Presiden,

Sungguh benar bahwa cara terbaik menasehati pemimpin adalah dengan menjumpainya empat mata, menggandeng tangannya, duduk mesra, dan membisikkan ketulusan itu hingga merasuk ke dalam jiwa.

Tapi tulisan ini barangkali tak layak disebut nasehat. Yang teranggit ini hanya uraian kecil yang semoga menguatkan diri kami sendiri sebagai bagian dari bangsa ini untuk menghela badan ke masa depan yang temaram.

Mengapa ia di-kepada-kan untuk Ayahanda; harapannya adalah agar huruf-huruf ini kelak menjadi saksi di hadapan Allah dan semesta akan cinta kami kepada Indonesia. Syukur-syukur jika ia mengilhami para pemimpin yang berwenang-berdaulat, untuk melakukan langkah-langkah yang perlu bagi kemaslahatan kami. Dan bermurah hatilah mendoakan kami Ayahanda, agar jikapun kami hanya rumput yang kisut, ia tetap dapat teguh lembut dan tak luruh dipukul ribut bahkan ketika karang pelindung kami rubuh lalu hanyut.

Ayahanda Presiden, izinkan kami memulai hatur-tutur ini dengan sebuah kisah.
Ini adalah masa kepemimpinan Sayyidina 'Umar ibn Al Khaththab, tahun 18 Hijriah. Musim panas berkepanjangan disertai angin kering membawa debu-abu menghantam negeri yang baru saja tumbuh itu. Panen hancur, tetanaman musnah, ternak binasa, diikuti 2 tahun kelaparan yang melanda sebentang jazirah dari Yaman, Hijjaz, Yamamah, hingga Nejd; sementara wabah dari arah Syam turut mengganas hingga ke Madinah.

Masa itu lalu dikenal sebagai ‘Tahun Ramadah’, sebagaimana ditulis Ibn Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah, karena bumi tampak hitam kelabu seperti warna ramad (abu jelaga). Ibn Manzhur sebagaimana dikutip dalam Lisanul ‘Arab menyatakan, “Ramada, atau armada; adalah ungkapan jika terjadi kebinasaan. Disebut tahun ramadah sebab musnahnya sebagian manusia, tumbuhan, ternak, dan harta benda pada saat itu.”

Dampaknya yang dahsyat digambarkan Ibn Sa’d dalam Ath Thabaqatul Kubra, “..Hingga manusia terlihat mengangkat tulang yang rusak dan menggali lubang tikus untuk mengeluarkan apa yang ada di dalamnya.” Langkanya bahan pangan membuat harga melambung, sampai Imam Ath Thabary dalam Tarikh-nya menyebut, pada masa itu harga satu bejana susu dan sekantong keju mencapai 40 dirham.

Demikianpun, dinar dan dirham seakan benar-benar tiada guna karena jikapun ada uang berapa saja banyaknya, barang yang hendak dibeli sama sekali tiada. Kita tak lupa, paceklik ramadah terjadi tak berselang lama dari masa ketika perbendaharaan Kisra yang bertimbun-timbun diangkut ke Madinah pada tahun 14 Hijriah, juga hanya sebentar sebakda Syam dan Mesir yang makmur bergabung ke pangkuan Daulah.

Ayahanda Presiden,

Seakan-akan Allah hendak menunjukkan, bahwa ujianNya adalah kepastian berupa secicip ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan untuk memberi kabar gembira pada orang-orang yang sabar. Seakan-akan Allah hendak memperlihatkan, bahwa hari-hari di antara manusia memang dipergilirkan, lapang dan sempitnya, jaya dan prihatinnya. Seakan-akan Allah hendak menampakkan bahwa bahkan dalam Khilafah Rasyidah, masyarakat orang-orang shalih dengan pemimpin yang adil, tidak ada jaminan bebas dari krisis.

Tapi dengan cara ini pula Allah memperlihatkan kualitas seorang pemimpin, kualitas kepemimpinannya, dan kualitas mereka yang dipimpinnya. Inilah kesejatian sebuah peradaban; pada mutu jiwa manusianya, bukan kemewahan hidup dan kemegahan bebangunnya.

Masih tergambar jelas ketika ‘Umar menangis menyaksikan emas dan perak, permata dan sutra, permadani dan pernak-pernik mahal tiba dari Qadisiah dan Madain. Ketika itu ‘Abdurrahman ibn ‘Auf bertanya, “Mengapa engkau menangis wahai Amiral Mukminin? Padahal Allah telah memenangkan agamaNya dan memberikan kebaikan pada kaum mukminin lewat kepemimpinanmu?”

“Tidak demi Allah”, sahut ‘Umar. “Ini pastilah bukan kebaikan yang murni dan sejati. Seandainya ia adalah puncak kebaikan, niscaya Abu Bakr lebih berhak ini terjadi pada masanya daripada aku. Dan niscaya pula, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lebih berhak ini terjadi pada masa beliau daripada kami.” Lalu ‘Umar terus menangis mengkhawatirkan adanya fitnah yang akan timbul pada ummat Muhammad gegara harta itu. Setelah agak reda dari sesenggukannya, dia berkata, “Betapa amanahnya pasukan ini, dan betapa amanah pula panglimanya, Sa’d ibn Abi Waqqash.”

“Ini semua karena engkau”, sambut ‘Ali ibn Abi Thalib, “Tak menyimpan di dalam hatimu sebersitpun hasrat pada kekayaan dunia itu. Seandainya saja di dalam dadamu ada setitik saja syahwat terhadap perbendaharaan harta itu, niscaya pasukanmu akan saling bunuh demi memperebutkannya.”

Empat tahun kemudian kala menyaksikan Ramadah, ‘Umar kembali menangis. “Akankah ummat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam binasa di bawah kepemimpinanku?”, gerunnya berulang-kali. Saat itu, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf pula menguatkannya. “Tidak wahai Amirul Mukminin. Betapa telah berbedanya keadaan disebabkan keberkahan kepemimpinanmu?”

“Apa maksudmu wahai ‘Abdurrahman?”, sahut ‘Umar.

“Tidakkan kau perhatikan musibah dan orang-orang ini? Seandainya bencana ini terjadi di masa jahiliah, niscaya kaum Arab kesemuanya pasti sudah saling bunuh untuk memperebutkan sebulir gandum atau setetes air. Tapi lihatlah mereka ini; mereka semua bersabar dan teguh, mereka menangis tapi ridha kepada takdir Allah, mereka saling berbagi dengan mengutamakan saudaranya, serta bahu-membahu menghadapi semuanya dengan ketabahan yang takkan terbayangkan di masa dahulu.”

Pada zaman itu; bersebab kualitas manusianya, dalam krisispun jiwa mereka tampak berkilau, bersinar dari celah-celah berkah. Dalam makmur ataupun paceklik, suka dan duka, lapang serta sempit; mereka menunjukkan kualitas mental tertinggi yang akan menjadi modal peradaban Islam hingga abad-abad berikutnya. Ayahanda Presiden yang terhormat; andai diizinkan lancang memberi usul, betapa indah kalau program Revolusi Mental merujuk ke zaman ini.

***

Sementara itu Ayahanda,

Dalam makalahnya untuk Conference on Monetary Policy and Financial Stability in Emerging Markets di Istanbul, 13-15 Juni 2014, Guru Besar Ekonomi Harvard-Kennedy School, Jeffrey Frankel merujuk kisah Nabi Yusuf 'Alaihis Salaam tentang tafsirnya atas mimpi sang raja; tujuh sapi kurus yang memakan tujuh lembu gemuk dan tujuh runggai gandum yang segar penuh bulir serta tujuh tangkai yang kering lagi kopong.

"Supaya kalian bertanam 7 tahun sebagaimana biasa. Maka apa yang kalian tuai hendaklah kalian biarkan di bulirnya kecuali sedikit untuk kalian makan. Kemudian sesudah itu akan datang 7 tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kalian simpan untuk menghadapi tahun-tahun paceklik, kecuali sedikit dari bibit gandum yang kalian simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan dengan cukup dan di masa itu mereka memeras anggur." (QS Yusuf [12]: 47-49)

Frankel menggambarkan, seakan daur itu suatu pola yang dapat kita gunakan untuk membaca datang dan perginya paceklik di zaman kita. Dia menyebutnya, The Joseph Cycle.

Selama tujuh tahun antara 1975 hingga 1981, Oil Booming melimpahkan lonjakan pendapatan pada negara-negara penghasil minyak. Minyak mendapat gelar baru; emas hitam, dan istilah 'petro dollar' menggambarkan kekayaan negeri-negeri yang berlipat karenanya. Seakan menepati Daur Yusuf, setelah itu terjadi krisis utang global yang bermula di Meksiko pada tahun 1982. Hingga 1989, tahun-tahun ini disebut sebagai The Lost Decade di Amerika Latin.

Di rentang tahun 1990-1996, pola yang mirip terjadi lagi di kala muncul gejala emerging markets booming. Negara-negara berkembang mengalami pertumbuhan ekonomi yang dahsyat selama 7 tahun. Julukan Asian Tigers bagi mereka, di mana Indonesia dimasukkan sebagai salah satunya, mewarnai satu zaman yang gempita oleh apa yang disebut sebagai Asian Economic Miracles. Namun segera setelah itu terjadi krisis ekonomi Asia pada tahun 1997, yang seakan melibas dan membawa pada financial droughts hingga 7 tahun berikutnya.

Menurut Frankel dalam presentasinya yang bertajuk “What will happen to EMs when the Fed tightens?” itu, pola yang sama akan kembali terulang dalam rentang 2004-2018 ketika terjadi financial markets booming yang ditandai dengan maraknya produk derivatif lengkap dengan segala rekayasa keuangannya. Istilah “Carry Trade” dan perkembangan negara-negara yang disebut BRICs akan menjadi pemantiknya. Awalnya, selama tujuh tahun pasar keuangan berkembang dengan fantastis. Lagi-lagi seakan menyesuaii Siklus Yusuf, setelah itu kita juga mengalami krisis keuangan global.

***

Ayahanda Presiden,

Baik sesuai Siklus Yusuf atau tidak, dalam lintasan sejarah tampak nyata bahwa kelimpahan dan kesempitan memang datang dan pergi berganti-ganti nyaris secara niscaya. Tak ada negara yang terjamin bebas dari disambangi paceklik. Pun bahkan, sekali lagi untuk menegaskan, jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa; maka pintu keberkahan yang dibukakan dari langit dan bumi tak selalu berbentuk kesejahteraan tanpa jeda, melainkan juga berupa sisipan kesempitan yang membuat manusia kembali bermesra padaNya.

Menghadapi paceklik itu, dalam ketidakpastian tentang seberapa kuat ia akan menghantam, ada di antara kita yang mengkhawatirkan sang krisis. Keterbatasan pemahaman tentangnya dan berbagai gejala yang telah terasa, suka tak suka menimbulkan berbagai kegelisahan dan bahkan pesimisme. Inilah yang dialami sebagian besar masyarakat kini, terlebih mereka yang pernah mengalami tahun-tahun pahit 1997 dan menyisakan trauma dalam hati.

Barangkali mereka yang menginsyafi keniscayaan datangnya krisis itu akan lebih mengkhawatirkan kesiapan kita menghadapinya. Para jamhur ekonomi makro, para cendikia pengamat pergerakan mata uang maupun pasar saham, para winasis yang menyeksamai neraca perdagangan, cadangan devisa, maupun berbagai rasio indikator mungkin akan lebih jernih melihat hal ini.

Dan di luar sang paceklik serta kesiapan menghadapinya, bersebab keterbatasan ilmu penyusunnya, tulisan ini hanya hendak mengajak berbincang tentang sikap menghadapi krisis itu. Sebab sungguh diyakini, nestapa paling malang yang berhasil disikapi pasti menghasilkan sesuatu yang lebih baik dibanding keberhasilan paling gemilang yang gagal disikapi. Bahkan, berhasil menyikapi kegagalan, berlipat baiknya daripada gagal menyikapi keberhasilan.

Sejarah pernah menaburkan teladan-teladan sikap utama dari para mulia di zaman paceklik menyapa mereka. Semoga dengan menyimaknya, kita tertuntun pula menyusuri celah-celah berkah hingga Allah karuniakan kebaikan di masa depan, dunia dan akhirat.
Sebagaimana ditelaah oleh Dr. Jaribah ibn Ahmad Al Haritsi dalam disertasinya di Universitas Ummul Qura Makkah yang meraih predikat summa cum laude, Al Fiqhul Iqtishadi Li Amiril Mukminin ‘Umar ibn Al Khaththab; ada hal-hal menarik dari Sayyidina ‘Umar selaku pemimpin negeri dalam masa Ramadah yang patut dicatat.

Pertama, dia sebagai kepala negara memikul penuh tanggungjawab atas hal tersebut. Bahkan meskipun diyakinkan berulangkali oleh para sahabat bahwa semua yang terjadi merupakan takdir Allah, ‘Umar selalu merasa bahwa pangkal persoalannya adalah kepemimpinan dirinya yang dalam pandangannya amat jauh dari kualitas pribadi yang dimiliki kedua pendahulunya, yakni Rasulullah dan Abu Bakr. Maka ‘Umar selalu takut kepada Allah kalau-kalau ummat ini binasa dalam pemerintahannya. Dengan bercucuran airmata, berulang-kali dia berdoa, “Ya Allah, jangan kau jadikan ummat Muhammad binasa dalam kepemimpinanku.”

Barangkali ada berlapis-lapis alasan bagi ‘Umar dalam paceklik itu, semuanya berupa keadaan yang di luar kendalinya; hujan yang tak turun, anomali musim, panen yang gagal, para pengungsi yang membanjiri Madinah, wabah penyakit yang datang dari arah Syam. Tapi dia memilih untuk bermuhasabah, barangkali dosa dan kelemahannyalah yang jadi persoalan. Alih-alih menyalahkan berbagai hal ataupun pihak, dia menjadi lebih banyak diam, bermuhasabah, dan beristighfar.

Kedua, ‘Umar mengambil sikap untuk bersama rakyatnya dalam keprihatinan. ‘Umar adalah penyuka susu dan keju. Tapi sepanjang 2 tahun Ramadah, dia haramkan untuk dirinya makanan selain roti tepung kasar, garam, dan minyak. Para sahabat menyaksikan bagaimana kulit ‘Umar yang semula putih kemerah-merahan, berubah menjadi kuning kehitam-hitaman bersebab hidup prihatin yang dia paksakan untuk dirinya.

Barangkali hidup sederhana takkan menyelesaikan krisis dan tidak pula memberi solusi kepada paceklik parah itu. Penghematan yang terjadi juga tak signifikan sama sekali. Tapi ketika itulah rakyat akan melihat bahwa sang pemimpin ada bersama mereka, merasakan hal yang sama seperti yang mereka alami. Dengan itu, bertambah tentramlah hati mereka yang dipimpinnya. Ketika rakyat hatinya tenang, bahkan pemimpin yang tak solutif sekalipun akan melihat bahwa rakyatnya punya kemampuan dahsyat untuk mencari solusinya sendiri.

Ketiga, ‘Umar menjadikan masa Ramadah sebagai wahana untuk membangun solidaritas menyeluruh kepada berbagai bangsa yang dipimpinnya. Betapa dia meneladankan langsung mengangkuti tepung, minyak, dan lauk kering untuk para pengungsi dan penduduk Madinah. Dia pula menghimbau dan menyemangati rakyatnya untuk berbagi dan menanggung beban sesama. Dia tepuk-tepuk pundak seorang ‘relawan’ muda bernama Al Ahnaf ibn Qais, yang dengan terus berlari-lari sepanjang hari memenuhi hajat orang-orang, lalu ketika habis tenaganya, dia mengelemprak sembari menangis dan berdoa, “Ya Allah, jangan murka padaku jika masih ada hambaMu yang kelaparan.”

Kita sebagai bangsa juga punya modal sosial yang amat kuat untuk membangun solidaritas itu. Bahkan mungkin kita adalah salah satu negara dengan lembaga kemanusiaan yang amat banyak jumlahnya, bekerja menyalurkan zakat, infak, shadaqah, wakaf, hibah, hadiah, dan bahkan dana CSR dalam berbagai kegiatan sosial. Dukungan dan kebersamaan pemerintah akan kian meneguhkan kita pula sebagai bangsa yang tangguh.

Keempat, ‘Umar terus memikirkan dan merumuskan sistem jaminan sosial yang bisa membuat rakyatnya bertahan di tengah paceklik. Segala sumber daya yang ada di Baitul Maal, diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Dikisahkan bagaimana dia mengumpulkan 60 orang, lalu memasak sejumlah tepung menjadi roti dan daging kering sebagai lauknya lalu mempersilakan mereka makan. Ketika ditanyakan apakah mereka merasa kenyang dengan itu, semua menyatakan ya. Maka ‘Umar memutuskan, sejumlah bahan-bahan yang tadi dimasaklah yang akan diberikan sebagai tunjangan sosial bulanan bagi tiap jiwa yang musnah sumber penghidupannya selama Ramadah.

Kelima, ‘Umar menjadikan sektor pangan sebagai perhatian utama selama krisis dan setelahnya. Dari kisah Nabi Yusuf ‘Alaihis Salaam pun didapati bahwa, dalam masa kelangkaan di mana bahkan emas dan perak jadi tak berguna, Mesir selamat karena menata dengan baik konsumsi dan persediaan logistiknya. ‘Umar pun meminta Abu Musa Al Asy’ari untuk mengajarkan kebiasaan kaumnya yang dipuji Rasulullah, yakni; semua keluarga dalam tiap unit masyarakat mengumpulkan bahan pangan yang dimiliki menjadi satu dalam lumbung, kemudian pembagian kembali untuk konsumsi diatur dengan tata laksana gotong-royong yang adil dan penuh kebersamaan.

Inilah kebijaksanaannya; jika lumbung terpusat ala Yusuf tidak relevan untuk negaranya yang membentang dari Gurun Sahara hingga Sungai Indus; maka ketahanan pangan dibangun dalam unit-unit kecil masyarakat. Teknologi budidaya, pemanenan, pengolahan, dan penyimpanan panen di masa berikut kiranya amat membantu lahiriah dari jiwa-jiwa yang berbagi suka dan duka.

‘Umar pula mengunjungi beberapa daerah pantai dan menemui para nelayan. Dengan pujiannya ketika membersamai mereka melaut, “Betapa baiknya cara kalian menjemput rizqi Allah”, dia meminta pelipatgandaan penyediaan ikan dan membiasakan rakyatnya memakan hasil laut. ‘Umar juga melarang segala jenis ternak dan hewan peliharaan diberi makan dengan apa yang dapat dikonsumsi manusia. Dia sangat marah ketika pada sebuah peternakan unta ditemukan kotoran yang mengandung jejak tepung sya’ir.

Keenam, ‘Umar menggesa pembangunan infrastruktur dan jaminan keamanan yang mendukung kelancaran suplai logistik. Pada jalur antara Syam ke Madinah, Kufah ke Madinah, dan bersambung hingga Yaman; didirikan pos-pos penjagaan dan tempat-tempat istirahat kafilah yang memadai. Di tahun berikutnya, setelah melihat lama dan mahalnya angkutan darat dari Mesir ke ibukota, ‘Umar memerintahkan Gubernur ‘Amr ibn Al ‘Ash untuk menggali kanal yang menghubungkan Sungai Nil dengan Laut Merah, sehingga hasil pertanian Mesir yang berlimpah dapat diangkut dengan cepat ke Madinah untuk menekan harganya. Terusan itu tetap berfungsi hingga akhir masa pemerintahan Sayyidina ‘Utsman ibn ‘Affan.

Ketujuh; ‘Umar memberlakukan beberapa kebijakan yang meringankan beban tanggungan masyarakat. Selama masa Ramadah, zakat hewan ternak ditunda penarikannya, pemeroleh jaminan sosial diperluas dari semula bayi tersapih menjadi sejak bayi lahir, bahkan beberapa hukuman ditangguhkan penerapannya termasuk pencurian yang benar-benar bersebab kebutuhan dan tak mencapai nilai seperempat dinar. Sebaliknya, ketika menemukan lahan subur milik para pemuka kaum tak digarap dalam tinjauannya ke Iraq, dia tegas mengultimatum bahwa jika dalam waktu tertentu sang tuan tanah tak menjadikannya produktif, negara berhak menyita dan mengamanahkannya pada yang mampu menanaminya.

Kedelapan, boleh jadi inilah yang terpenting; keberserahan diri ‘Umar kepada Allah dan upayanya dalam memohon pertolongan Allah. Suatu hari di puncak paceklik, digandengnya erat Sayyidina ‘Abbas ibn ‘Abdil Muthalib setelah bersama-sama menunaikan shalat istisqa’. Dengan berlinang dia berkata, “Ya Allah, dulu kami memohon hujan dengan perantaraan NabiMu. Kini kami mohon turunkanlah lagi hujan itu dengan perantaraan doa Paman NabiMu ini.” Tak lama kemudian angin mengarak awan hitam di langit Madinah, dan hujanpun turun dengan deras. Inilah sang pemimpin, dia merunduk pada Allah dan menggandeng erat orang-orang shalih.

Ayahanda Presiden yang terhormat,

Kami akhiri hatur-tutur ini dengan tiga kata yang menggambarkan sifat pemimpin menurut Pujangga Keraton Surakarta, Raden Ngabehi Rangga Warsita, yakni momor, momot, dan momong. Momor berarti hadir, dekat, bersama, menyatu, dan seperasaan dengan yang dipimpin. Momot artinya mampu memuat segala beban, keluhan, dan harapan yang dipimpin. Adapun momong artinya, menjaga, mencukupi, mengasuh, mengasihi, dan mengasah yang dipimpin. Doa kami selalu, semoga Panjenengan nDalem mampu mengemban amanah lebih dari 250 juta manusia yang amat berpotensi menjadi pendakwa, bukan pembela di akhirat sana.

Hamba Allah yang tertawan dosanya,
@salimafillah
FB: Salim A. Fillah

Ibu Profesional

Game Level 1 : Komunikasi Produktif#2